TRAGEDI RAWA GEDE KARAWANG
Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung Rawagede (sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di antara Karawang dan Bekasi, oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu melancarkan agresi militer pertama. Sejumlah 431 penduduk menjadi korban pembantaian ini.
Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang. Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil. Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan pembersihan. Dalam peristiwa ini 35 orang penduduk Rawagede dibunuh tanpa alasan jelas.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah momen yang ditunggu-tunggu. Semua bersuka cita Indonesia lepas dari belenggu penjajahan. Tapi tidak bagi penjajah Belanda. Negeri Kincir Angin itu masih merasa Indonesia sebagai wilayahnya. Opsi teror mulai dilancarkan Belanda. Agresi Militer Belanda I jadi ajiannya.
Namun Belanda kelewat batas. Pembantaian Rawagede di antara Karawang-Bekasi contohnya. Sebuah tragedi kemanusiaan yang memakan korban ratusan jiwa. Dunia pun mengecam Belanda. Di mata Belanda, proklamasi kemerdekaan Indonesia tak memiliki nilai. Indonesia yang dulunya Hindia-Belanda masih dianggap sebagai negeri koloni.
Sebuah daerah jajahan yang diperas macam 'sapi perah'. Dikatakan begitu karena Belanda menganggap wilayahnya hanya direbut Jepang, bukan oleh kaum bumiputra. Karenanya, Belanda merasa memiliki hak untuk menguasai Indonesia. Sekali lagi. Belanda berniat menggulingkan Indonesia dan mengembalikannya ke status negara jajahan. Provokasi-provokasi dilakukan oleh Belanda sebelum adanya perundingan.
Geretakan Belanda tak membuat nyali pejuang kemerdekaan ciut. Dukungan seluruh rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan menggema di mana-mana. Seluruh rakyat ikut berjuang dalam satu komando. Sebesar-besarnya untuk sekali merdeka, tetap merdeka. Selain itu Belanda bersiasat untuk melakukan perundingan.
Tapi hasil perundingan tak begitu memuaskan kedua pihak: Belanda ataupun Indonesia. Belanda berang. Mereka memilih melancarkan serangan besar-besaran yang dirancang untuk menghancurkan Republik Indonesia. Serangan itu langgeng dikenang sebagai Agresi Militer Belanda I pada 1947.
“Secara umum, Belanda merasionalkan keputusan mereka untuk menggunakan kekuatan militer dengan alasan bahwa pemerintah Republik tidak cukup mengawasi unsur-unsur ekstremis yang tersebar dalam wilayah Republik sehingga menghalangi implementasi Pejanjian Lingarjati yang sudah dibuat. Meskipun Republik memang belum mampu mengawasi secara menyeluruh semua daerah organisasi-organisasi bersenjata tidak tetap, pengawasan terus ditingkatkan.”
“Ketika Belanda melancarkan agresinya, lingkup maupun efektivitas pengawasan Republik atas wilayahnya sendiri jauh lebih besar daripada sebelumnya. Disiplin dan integrasi dari organisasi-organisasi bersenjata juga lebih besar daripada sebelumnya. Sungguh ironis bahwa demi menahan agresi Belanda secara efektif, maka organisasi militer Republik disebar dan komando satuan bersenjata perlu diberi kekuasaan otonom kembali,” ungkap George McTurnan Kahin dalam buku Nasionalisme & Revolusi Indonesia (2013).
Belanda melangsungkan agresi dengan kekuatan penuh. Persenjataan yang digunakan terhitung lengkap. Belanda juga membekali pasukannya dengan tank-tank dan pasukan udara yang cukup kuat. Bukan tidak mungkin dalam dua minggu saja, Belanda telah menguasai hampir semua kota-kota besar yang menghasilkan bahan pangan – di Jawa Barat dan Jawa Timur. Setelahnya, Sebagaian besar pangkalan militer milik Indonesia jatuh ke tangan Belanda Belanda.
Artinya, dalam waktu singkat Belanda mampu mencapai tujuan mengusai Indonesia secara geografis. Belanda dengan armada perangnya yakin benar jika penaklukkan kota-kota lainnya hanya persoalan waktu belaka. Tapi satu yang nyaris tak bisa diraih Belanda waktu itu. Belanda gagal menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Ibu kota RI memang terkepung dan hubungan ke luar sulit karena pelabuhan-pelabuhan di kuasai Belanda. Ekonomi RI mengalami kesulitan pula karena daerah RI yang merupakan penghasil beras jatuh ke tangan Belanda. tetapi dalam usahanya menghancurkan TNI, Belanda menemui kegagalan.”
“TNI dalam dalam Perang kemerdekaan I mempraktekkan sistem pertahanan linear (mempertahankan garis pertahanan) yang ternyata tidak efektif, sehingga TNI terusir dari kota-kota. Akan tetapi TNI tidak mengalami kehancuran, lalu bertahan di desa-desa,” ujar G. Moedjanto dalam buku Indonesia Abad Ke-20 Jilid 2 (1989).
Pembantaian Rawagede
Gema pasukan TNI masuk ke desa-desa akhirnya sampai ke telinga Belanda. Di masa gencatan senjata sehabis Agresi Militer I, Belanda mulai curiga dengan pasukan Republik telah menjadikan banyak desa sebagai basis gerilya. Desa Rawagede (Jawa Barat), salah satunya.
Desa ini dianggap Belanda terkenal –dari kepala desa hingga warganya— mendukung perjuangan mengusir Belanda. Seisi Rawagede yang berada diperbatasan Karawang-Bekasi pun disebutkan Belanda laksana agen pro-Republik.
Belanda sering melancarkan operasi penyerangan untuk menumpas pejuang kemerdekaan, yang oleh mereka disebut ekstremis di Rawagede. Target utamanya adalah Kapten Lukas Kustarjo. Ia yang dijuluki Belanda sebagai 'Begundal Karawang' kepalanya dihargai sampai menyentuh angka 10 ribu gulden. Hidup atau mati. Berkat bantuan rakyat, Luka Kustarjo selalu aman. Hasilnya Belanda selalu gagal menumpas pejuang kemerdekaan.
“Dalam catatan Belanda, pasukan Lukas Kustarjo seorang bekas Bundanco (bintara) PETA, mengadakan perlawanan sengit terhadap tentara Belanda. Perlu diketahui bahwa calon bintara PETA oleh Jepang diambil dari golongan penduduk biasa, berbeda dari golongan penduduk yang diambil sebagai calon perwira PETA yang berasal dari golongan bekas pamongpraja pemerintah kolonialis Belanda.”
“Hal itu dikarenakan mempengaruhi perbedaan karakter antara bintara dan perwira PETA di Divisi Siliwangi. Golongan Bintara PETA sesuai dengan asalnya lebih bersemangat melawan Belanda daripada putra-putra feodal Jawa yang dijadikan perwira oleh Jepang,” tulis Hario Kecik dalam buku Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009).
Kegagalan bukan melulu saat penyerangan belaka. Tiap mematai aktivitas pejuang Republik di Rawagede, mata-mata Belanda selalu kedapatan. Belanda yang gusar lalu mencoba melakukan perlawanan kembali. Tak main-main, Belanda menurunkan pasukan besar. Batalion ke-9 tentara Belanda dari Resimen Infantri yang dipimpin oleh Mayor Wijman dilibatkan untuk mencari Lukas Kustarjo.
Pada tanggal 9 Desember 1947, pasukan itu diturunkan. Desa Rawagede langsung dikepung. Mereka menggeledah tiap rumah. Penduduk Rawagede lalu dikumpulkan ke dalam kelompok kecil yang isinya antara 30-40 orang.
Satu persatu warga Rawagede ditanyakan sembari ditodongi pistol oleh tentara Belanda. semua warga yang ditanyai tak ada yang memberi tahu keberadaan Lukas Kustrarjo dan pejuang lainnya. Mereka mengaku tidak tahu. Ada pula yang memilih diam.
Di tengah hujan, Belanda yang Geram langsung meminta seluruh laki-laki dewasa di Rawagede membentuk kelompok kecil. Mereka dipisah dari anak ataupun istrinya. Mereka diberikan perintah jongkok dengan membelakangi tentara Belanda. Pembantaian pun dimulai. Deru suara pistol silih berganti terdengar. Tak lama setelahnya, tangisan dari ibu-ibu yang kehilangan suaminya, anaknya, hingga kerabatnya pecah di tengah hujan.
Adapun yang mencoba meloloskan diri dengan terjun dan bersembunyi di kali ikut dibantai oleh Belanda. tanpa belas kasih Rawagede dibuat banjir darah. Tragedi itu memakan korban jiwa sebanyak 431 orang. Namun, Belanda berkelit.
Dalam nota ekses dari Belanda jumlah korban meninggal dunia hanya 150 orang saja. Tak lebih. Meski begitu, kekejaman Belanda itu langsung dikutuk dunia. Bahkan, Dewan Keamanan PBB pada 1948, menyebut aksi Belanda sebagai kesengajaan dan kejam.
“Namun, karena patroli pasukan Belanda menggunakan anjing pelacak, keberadaan mereka akhirnya diketahui. Setiap rumpun eceng gondok di sungai tersebut kemudian diberondong peluru. Akibatnya, dalam sekejap mayat-mayat bergelimpangan."
"Jeritan kesakitan terdengar di mana-mana. Hal itu malah mengakibatkan berondongan peluru yang makin membabi buta. Dalam waktu yang bersamaan, sungai kecil yang merupakan saluran pembuang itu, airnya seketika berubah warna menjadi merah karena darah,” tutup Her Suganda dalam buku Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa (2009).
Pimpinan Republik kemudian mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak berdosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesiė begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede hanya sekitar 150 jiwa. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer.
Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan.
Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Namun hingga kini, Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Pemerintah Belanda tetap menyatakan, bahwa pengakuan kemerdekaan RI telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan hanya menerima 17.8.1945 secara politis dan moral –de facto- dan tidak secara yuridis –de jure- sebagaimana disampaikan oleh Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta pada 16 Agustus 2005.
Tuntutan kepada pemerintah Belanda pertama kali disampaikan oleh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia [KNPMBI]. [petisi . KNPMBI didirkan pada 9 Maret 2002.
Karena lingkup kegiatan KNPMBI sangat luas, maka khusus untuk menangani hal-hal yang sehubungan dengan Belanda, Ketua Umum KNPMBI, Batara R. Hutagalug bersama aktivis KNPMBI pada 5 Mei 2005 bertempat di gedung Joang '45, mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda [KUKB].[2] Pada 15 Desember 2005, Batara R. Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda dan Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua Dewan Penasihat KUKB bersama aktivis KUKB di Belanda diterima oleh Bert Koenders, juru bicara Fraksi Partij van de Arbeit (PvdA) di gedung parlemen Belanda di Den Haag.
Dalam kunjungannya ke Belanda, pada 18 Desember 2005, Ketua KUKB Batara R. Hutagalung meresmikan KUKB Cabang Belanda dan mengangkat Jeffry Pondaag sebagai Ketua KUKB Cabang Belanda, serta Charles Suryandi sebagai sekretaris. KUKB di Belanda membentuk badan hukum baru, yayasan K.U.K.B. Anggota Dewan Penasihat KUKB, Abdul Irsan SH., yang juga mantan Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, memberi sumbangan untuk biaya pendirian yayasan, dan untuk membayar pengacara di Belanda yang akan mewakili tuntutan para janda korban di Rawagede. Belakangan, KUKB dan Yayasan KUKB pecah.
Yayasan KUKB bersama para janda, penyintas (survivor), dan saksi korban pembantaian di Rawagede menuntut kompensasi dari Pemerintah Belanda. Liesbeth Zegveld dari biro hukum Bohler menjadi pengacara mereka.
Pada 15 Agustus 2006, 15 Agustus 2007 dan 15 Agustus 2008 KUKB pimpinan Batara R. Hutagalung bersama beberapa janda dan korban yang selamat dari pembantaian di Rawagede melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Belanda di Jakarta, dan setiap kali menyampaikan lagi tuntutan kepada Pemerintah Belanda.
Parlemen Belanda cukup responsif dan cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 – 1950, walaupun kemudian belum ada sanksi atau tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas, mengenai kompensasi bagi para korban dan keluarga korban yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer, yang baru pada 16.8.2005 diakui oleh Menlu Belanda, bahwa agresi militer tersebut telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah
Tujuh janda korban pembantaian, satu anak perempuan korban, dan seorang lelaki penyintas (survivor) lantas menggugat pemerintah Belanda atas kejadian pada tahun 1947 itu. Jaksa pemerintah Belanda berpendapat tuntutan mereka kedaluwarsa.
Namun, pengadilan Den Haag pada 14 September 2012 menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab. Pemerintah Belanda diperintahkan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya. kompensasi berupa sejumlah uang masing-masing 1 miliar
Dokumenter peristiwa tragedi Rawa Gede Karawang
Dikutip dari artikel
https://voi.id/amp/107974/pembantaian-rawagede-banjir-darah-di-antara-karawang-bekas
https://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_Rawagede
Komentar
Posting Komentar